Saturday, March 08, 2008
James Potter. Begitu ia dikenal. Mata hazelnya tersembunyi di balik kacamata yang membuatnya terlihat lebih culun dari sebenarnya. James melihat bayangan dirinya sendiri di cermin besar yang tergantung di Ruang Rekreasi Gryffindor. Tidak jelek. Hanya saja, rambutnya yang berantakan nyaris membuat James sendiri frustasi. Ia sudah mencoba berbagai macam cara untuk membuat rambut berantakannya terlihat rapi –termasuk memakai minyak rambut—namun selalu berakhir dengan kekecewaan. James menjambak rambutnya sendiri. Nyaris berteriak kesal. Kalau begini penampilannya, bagaimana ia bisa mengajak Lily Evans saat kunjungan Hogsmeade tiga minggu lagi? James melepas kacamatanya, mengagumi mata hazelnya kemudian memakainya kembali.
“Hey, Prongs. Apa yang kau lakukan di depan cermin ini? Mau membuktikan kalau kau lebih tampan dariku, eh?” Seseorang merangkul bahunya. James tak perlu menolehkan kepala untuk melihat. Di depan cermin itu, nampak jelas bayangan Sirius Black merangkulnya dengan cengiran lebar. Rambut hitamnya nampak sama berantakannya dengan rambut James. Tapi James yakin, rambut Sirius akan lebih mudah diatur. Mungkin kalau saja rambut James seperti rambut Sirius, Lily Evans akan jatuh cinta padanya. Tidak seperti sekarang.
Ring, ring it’s you again, heart pops
I loved to hear you
It’s been all day I’ve been waiting for youRambut merah lebat dengan sinar mata hijau cemerlang berada di sisi kiri James. Memandangnya dengan alis terangkat. James sontak melepaskan rangkulan Sirius dari pundaknya. Sirius memandangnya dengan tatapan ‘oh-tenang-saja-aku-tak-menyukaimu’. James berbalik dengan segera. Ia mengangkat tangan kanannya seakan ingin melambai pada Lily Evans. “Hai, err—Evans!” sapanya kagok. Refleks, James menyibakkan rambutnya sendiri seakan ingin mengacaknya lagi dengan tangan satunya.
Lily mengernyit. Ada apa dengan anak satu ini?
Hari ini ia kelihatan begitu aneh berdiri di depan kaca sambil memegangi rambutnya. Jangan bilang dia sedang mencoba ramuan penumbuh rambut terbaru. Lily bergumam dalam hati. Ia geli membayangkan rambut kaku James akan gondrong dan menjalar ke seluruh wajahnya. Masih dengan tatapan bingungnya, Lily memandangi tangan James yang terangkat. Sirius terkikik dan menyikut James sehingga membuat James menurunkan tangannya yang seakan melambai. “Namaku Evans, Potter. Kukira kau sudah mengenalku selama empat tahun belakangan ini, kan? Namaku bukan Erevans,” sahut Lily. Ia melirik ke arah rambut James. “Sebaiknya cobalah pakai minyak rambut ke rambutmu,” saran Lily tulus.
James mengerling Sirius yang makin tergelak di sampingnya. “Well, aku bukanlah pemuja minyak seperti pacarmu Si Snivelly, Evans,” jawab James tanpa berpikir. Sontak wajah Lily yang tadinya penuh perhatian berubah menjadi kesal.
“Jangan sebut dia seperti itu!” Lily maju dan menunjuk-nunjuk dada James. “Setidaknya, rambutmu akan mudah diatur dengan minyak. Atau bercukurlah. Umm.. yeah, terserah kau sajalah.” Lily berlalu pergi dari hadapan James dan Sirius. James terpaku sementara tawa Sirius meledak. Di sela-sela tawanya, ia mengatakan, “Bodoh! Kau bodoh, Prongs!”
James menaikkan alis matanya, meminta penjelasan dari Sirius. “Apa aku salah bicara, eh? Aku jujur.”
Sirius berhenti tertawa. Ia menyeringai. “Tidak, James. Evans-lah yang sensitif. Kuyakin, suatu hari nanti dia akan mengerti betapa menjijikkannya seorang Pemuja-Minyak.” Sirius menyikut lengan James dan kembali tertawa. James hanya tertawa miris.
Tidak salah? Tapi Evans marah padaku.***
Seusai kelas Transfigurasi, James lebih memilih membolos pelajaran dan duduk di pinggir Danau Hitam bersama ketiga sobatnya yang juga bolos. Entah mengapa hari ini, Remus juga ikut bersama rombongan James. Biasanya Remus akan menolaknya dan lebih memilih berada di kelas Ramuan bersama murid-murid Slytherin, termasuk Si Pemuja-Minyak dan Evans. James memutar-mutar buku ‘Terbang Bersama The Cannons’-nya di tangan kanan. Ia memilih diam dibanding berbicara menimpali lelucon Peter yang sama sekali tak bisa dibilang lucu. Untuk menghargai, James pura-pura tertawa. Tapi tawanya melengking tinggi. “Oh ya ampun, Wormtail. Itu lucu sekali. Tak sadarkah kau kalau ceritamu bisa mendapatkan penghargaan Lelucon Terbaik edisi Daily Prophet?” James membual. Hidung Peter kembang-kempis. Karena inilah ia senang berteman dengan James.
Tiba-tiba Sirius menyodok rusuk James, membuatnya mengaduh kesakitan. Sirius menunjuk suatu arah dengan pandangan matanya. James tanpa sadar menepuk bahu Remus untuk menunjuk ke arah yang sama.
Hello, you call my name
So much stories you shared with me
You said a lot to me about girls
Oh, it’s so nice “Remus! Kenapa kau tidak mengikuti pelajaran Ramuan?” Lily bertanya seraya berlari menghampiri mereka berempat. Matanya berbinar-binar bahagia, seakan tidak bertemu dengan Remus selama 5 abad. Remus melirik James sesaat.
“Oh ya, aku... Aku sedang, yeah, malas belajar,” jawab Remus tak konsentrasi. Sirius dan James saling bertukar pandang. Lalu apa yang dilakukan Remus sejak tadi dengan buku Ramuan-nya? Curhat, eh?
Lily memandang James tajam, seakan-akan James-lah penyebab Remus tak menghadiri kelas Ramuan. James memasang senyumnya yang dianggap paling keren, seraya tangannya tak henti mengacak rambutnya sendiri.
Sirius memandangnya lagi dengan tatapan ‘ayo-lakukan-sesuatu-hal-yang-romantis’. Sementara Remus memandangnya ‘James,-Lily-sedang-dalam-suasana-hati-yang-buruk’. Peter hanya memandang James dan Lily bergantian, nampak bingung. James mengelus lehernya sendiri. Dengan cepat, ia memetik sekuntum bunga liar di balik badannya yang sedang duduk dan James berdiri di depan Lily. “Untukmu. Untuk matamu yang hijau bagaikan daun bunga ini dan rambutmu yang merah seperti kelopaknya,” ujar James (sok) puitis seraya mengulurkan bunga itu. Sirius mendekap mulutnya sendiri dan mulut Peter agar tak meledak tertawa sementara Remus mengulum senyumnya. Tampak jelas kalau ia menahan geli.
And every beauty thing they did to you
Don’t stop and tell me moreOh well, terserah mereka saja. James tak peduli. Di matanya, Lily adalah makhluk paling berkilau di antara perempuan-perempuan lain yang pernah dilihatnya di Hogwarts. Rambutnya yang kemerahan, memang nampak berkilau di bawah sinar matahari. Terang dan terlihat begitu lebat. James ingin sekali menyibakkan rambut merah Lily untuk mencari tahu apakah ia mempunyai kutu atau tidak.
Oh jangan bercanda, James Potter. Well, okelah. James juga senang memperhatikan mata hijau milik Lily. Mata hijau yang bersinar cemerlang, memperlihatkan kepintarannya. Cara berjalan Lily yang anggun dan kadang terkesan terburu-buru, cara berbicaranya yang kadang tajam tetapi menunjukkan kecerdasannya, serta cara dia memandang orang lain dengan matanya. Meskipun kadang James panas hati melihat Lily sangat memperhatikan Severus Snape dibandingkan dirinya yang menyedihkan, terus mencari celah untuk mendapatkan perhatian dari Lily.
Lily berdeham. “Err, James. Kurasa kelopak bunga ini berwarna orange, bukan merah.” Lily memandang heran pada bunga yang disodorkan James itu. “Aku sibuk. Kalau kau mencari orang untuk melatihmu belajar sastra, jangan denganku.” Lily hendak berbalik, tetapi ia menyempatkan diri tersenyum pada Remus. Hati James panas bukan main. James mengejarnya dan menjejalkan bunga itu ke tangan Lily.
“Aku ingin kau menerima bunga ini,” ujar James dengan wajah memelas. Lily memandangnya heran. James resah di dalam hatinya. Ia merutuki dirinya sendiri. Kenapa ia bisa menyukai perempuan seperti Lily? Kenapa harus Lily yang mempunyai mata hijau cemerlang yang indah dan rambut merah lebat tergerai? Kenapa Lily seperti begitu benci dan jijik kepada James? Oh well, itu karena James sering iseng dengan Severus Snape. Tapi kenapa Lily lebih memilih berteman dan memperhatikan Severus dengan berlebih? Membuat James semakin ingin menunjukkan betapa menyedihkannya Severus pada Lily. Lebih menyedihkan daripada dirinya. Setidaknya, James tidak memelihara ladang minyak di kepalanya.
Loving you it hurt sometimes
I’m standing here you just don’t bye
I’m always there you just don’t feel
Or you just don’t wanna feel James tak lagi mendengar Sirius, Remus, dan Peter tergelak. Yang dipandanginya hanyalah mata hijau Lily. Lily memandang balik. Anak di depannya ini... Sebenarnya pintar, tetapi otaknya sering disalahgunakan untuk mengerjai orang. Lily kesal padanya, setiap kali dia menjahili Severus. Tapi Severus... Severus juga sering mengusirnya tanpa sebab. Baru belakangan ini. Padahal dulu mereka begitu dekat. Lily menjejalkan lagi bunga itu ke tangan James. “Jangan konyol, Potter. Pintar-pintarlah berpikir sebelum berbicara,” sahut Lily dengan nada datar. Dalam hatinya, ia terkesan dengan keberanian James. Lily berbalik, benar-benar berjalan menjauhi mereka.
James mendengus panjang. Ia mendekap bunga itu di dadanya. Terdengar lagi gelak tawa ketiga sahabatnya. James mendelik pada mereka dan kembali memandang punggung Lily sampai ia tak terlihat.
Evans, kenapa kau begitu benci padaku? Lihat saja nanti, kau akan kudapatkan, My Red Lily. Don’t wanna be hurt that way
It doesn’t mean I’m givin’ up
I wanna give you more
And more and more…***
Ruang Rekreasi Gryffindor. Masih seperti biasanya, didominasi warna merah dan hangat. James menghenyakkan diri ke sofa panjang berwarna merah di sisi kanan ruangan. Hampir saja matanya tertutup kalau tidak mendengar sebuah suara.
“Hei, tak bisakah kalian diam sedikit? Ini bukan pasar.” Lily tampak gusar ketika memasuki Ruang Rekreasi Gryffindor dan mendapati sekelompok anak-anak tahun kedua bermain-main dengan frisbee bertaring yang mengejar mereka, kemudian membuat mereka berteriak-teriak horor. Lily menangkap frisbee bertaring itu setelah mengacungkan tongkatnya dan menggumamkan suatu mantra yang membuat frisbee itu menjadi beku seketika lalu terbang ke arahnya. “Jangan bermain dengan barang horor di dalam ruangan!” ujarnya sambil memasukkan frisbee itu ke dalam tasnya sendiri.
Knock, knock you came around heart pops
I loved to see you
It’s been two years since I’m love with youJames tertawa melihatnya. Lily Evans memang lucu. James curiga jangan-jangan frisbee itu nanti akan dipakainya sendiri untuk bermain. Lily sepertinya mendengar suara tawa James karena ia segera menoleh ke arah James yang sedang berbaring di sofa. James mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf V kepada Lily. “Hey, Evans. Kalau kau ingin bermain frisbee, bergabunglah dengan mereka. Jangan menyimpannya untukmu sendiri!” Beberapa anak cekikikan di belakang mereka karena mendengar ejekan James.
Lily memandang kesal pada James yang nyengir santai. “Oh, tentu tidak, Potter. Frisbee ini akan kuberikan pada McGonagall atau pada Remus agar anak yang membawanya didetensi,” sahut Lily dengan tatapan tak senang. Ada seorang anak perempuan berjengit kali ini. Sepertinya dialah pemilik frisbee itu. “Kalau kau merasa keberatan dan tak senang, boleh menemaninya didetensi, Potter,” sambung Lily kejam. Oh, tentu saja Lily tak benar-benar bermaksud untuk menyerahkan frisbee itu pada McGonagall. Ia hanya mengamankannya.
James menyeringai. “Kalau denganmu, aku mau. Mungkin kita bisa menyapu di halaman berdua saja?”
Wajah Lily merona seketika. Semburat merah menjalari wajahnya, menyatu dengan warna rambutnya yang kemerahan. “Bodoh kau, Potter. Ak---aku lebih senang disuruh mengeramasi Severus daripada berduaan denganmu,” jawab Lily agak gugup. Jawaban itu terucap begitu saja tanpa dipikirkannya masak-masak. Raut wajah James berubah. Jelas sekali kalau ia kesal.
“Oh yaa.. Snivellus kecilmu yang malang memang butuh dikeramasi, Evans. Tapi... tak bisakah sekali saja kau memperhatikanku? Sekali saja lebih memperhatikanku daripada si Pemuja-Minyak-dari-Slytherin.” James mendengus kesal. Ia mengalihkan pandangan dari mata kehijauan Lily ke arah anak-anak di belakang mereka yang ber-‘waah’-ria.
Lily hanya terdiam. Ia bingung ingin menjawab apa. Kalau saja James tahu... Lily memperhatikannya! Bahkan sangat memperhatikan bagaimana James hari ini, apa saja yang berubah darinya, dan kenapa James bisa begitu iseng. Lily memperhatikan semua itu dan hanya dirinya sendiri yang tahu. James di depannya ini.... beda dari biasanya. Terlihat begitu melankolis.
James bangun dari sofa. “Ah, sudahlah. Lupakan kata-kataku tadi. Aku tahu, Snivellus-mu memang yang terbaik.” James bergumam tak jelas dan melangkah ke kamar anak laki-laki, dimana ia takkan dihantui oleh bayangan Evans. Setidaknya, untuk beberapa saat.
Bum bum, you break my heart
You said, girl I’m in love with her
But it’s alright, I’m still alive here..Lily masih terdiam. Tercenung, memikirkan ucapannya barusan. Mungkin keterlaluan. Tapi ia dan James sudah biasa seperti itu. Kenapa James begitu marah? Lily harus meminta maaf padanya. Harus. Lily tak mau kalau James berubah, Lily tak mau kehilangan candaan dan tatapan James. Lily menaiki tangga, menuju kamar anak perempuan. Memikirkan apa yang akan dilakukannya untuk meminta maaf pada James.
***
Potter, temui aku di Halaman seusai jam makan siang.
Evans
Sirius membacakan keras-keras isi perkamen singkat itu dan memandang James dengan alis kanan terangkat. “Wow, James. Kau apakan dia? Kau berikan amortentia? Dia
begitu ingin bertemu denganmu, Prongs!”
James merebut perkamen itu dan membacanya sekali lagi. “Aku curiga ini bukan Evans yang menulisnya. Mungkin Severus yang ingin membalas dendam padaku,” gumam James tak yakin.
Tapi aku tahu benar, ini tulisan Evans! James memandang gelisah ke sekeliling Aula Besar dan meja panjang Gryffindor. Tak ada Evans di sana, sementara orang-orang berlalu-lalang di depannya.
Sirius menepuk pundak James. “It’s time to go, I think. Pergilah dan kau akan tahu siapa yang mengirimkan surat ini –kalau kau mengira bukan Evans yang mengirimnya,” ujarnya pada James. James mengangguk.
“Yea, kurasa aku akan pergi –Oh, mana tongkatku? Aku tak mau dikalahkan oleh mantra konyol Snape di sana –kalau benar Snape yang mengundangku.” James merogoh isi saku jubahnya, memastikan tongkatnya masih berada disana. Sirius menepuk pundaknya lagi.
“Semoga berhasil dengan Evans, Prongs.”
“Yeah, aku akan mengalahkan Snivellus, tenang saja,” sahut James tak konsentrasi. Ia beranjak dari kursi panjang Gryffindor dan pergi melangkahkan kakinya ke halaman.
Tak ada siapa-siapa di sana. James memandang berkeliling. Tetap tak ada orang. Sial.
Siapa orang bodoh yang memanggilku kesini? Mana orang itu?“James....”
Terdengar suara panggilan pelan. Suara perempuan berasal dari arah belakang James. Rasanya, James kenal suara itu. Begitu akrab di telinganya. Tapi ada yang aneh. ‘James’? Bukannya
orang itu memanggilnya dengan ‘Potter’? Bukan James.
“James, aku....”
James lagi! James membalikkan tubuhnya. Benar saja. Lily Evans berdiri di depannya dengan raut wajah cemas bercampur takut. Matanya yang indah itu seakan ingin berkata ‘tolong-jangan-crucio-aku’. Ya ampun, James bukan psikopat dan lagipula Evans yang memanggilnya kesini. Kenapa takut?
“Ada apa, Evans? Kau ingin menyampaikan perasaan terdalam yang kau rasakan terhadapku?” tanya James iseng. Ia sudah lupa dengan kejadian kemarin. James sudah lupa. Baginya itu hanyalah sebuah potret kecil yang indah tentang kata-kata Evans.
Lily mengerucutkan bibirnya. Tapi air mukanya terlihat tak lagi takut. “Err.. aku minta maaf soal kemarin.”
“Kemarin? Soal apa?” James berpura-pura tak tahu.
“Soal keramas..”
“Aku tak mengerti, Evans.”
“Jangan berpura-pura, James.”
“James? Oh, sekarang kau tak memanggilku Potter lagi?”
“Oh baiklah, Potter.”
“Aku lebih senang dipanggil James. Tapi kalau kau ma---OUCH! Kenapa kau menginjak kakiku?” James meringis memegangi punggung kakinya yang baru saja diinjak Evans.
Lily berjongkok. Memandangi punggung kaki James yang berlapiskan sepatu. “Kau bodoh,” desisnya. James ikut berjongkok dan betapa terkejutnya ia melihat air mata meluncur dari mata hijau milik Lily.
“Evans! Evans, kau tak perlu menangis karena menginjak kakiku!” James panik dan mengguncang-guncang bahu Lily.
“Kau.. Aku sudah susah-susah memanggilmu ke sini.. Tapi ternyata.... Kau bahkan lupa tentang kesalahanku.. Kau tak memberiku kesempatan untuk meminta maaf...” Lily terisak. James melongo sesaat.
“Wow, ternyata ada saatnya kau bodoh juga.” Ia nyengir tapi segera melanjutkan kata-katanya sebelum Lily berubah menjadi ‘ganas’, “kesalahanmu.. Aku bahkan tak menganggapnya sebuah kesalahan, Evans. Akulah yang salah. Jangan menangis.” James mengulurkan tangannya, menghapus air mata di pipi Lily.
“Evans....”
“Jangan panggil aku Evans..” Lily memegangi tangan James yang tengah menghapus air matanya.
“Well, Lily..” James nyengir. Agak aneh memanggilnya seperti itu. “Jangan menangis, kau tidak salah. Aku yang harusnya minta maaf sudah mengejekmu yang tidak-tidak.” James kini menggenggam tangan Lily.
Seulas senyum terbentuk di wajah Lily yang sekarang berwarna kemerahan. James ikut mengubah cengirannya menjadi senyum lembut. Ia senang melihat wajah Lily yang tersenyum. Kali ini, hanya untuknya. Perlahan, James mendekatkan wajahnya ke wajah Lily sampai bibirnya bertemu permukaan lembut yang basah. Bibir Evans.
And when I see that smile upon your face
Deep in your eyes you had it all
And when I hear your super electrical voices..“Kau tahu James, aku memperhatikanmu.”
“Oh ya? Sering-seringlah memperhatikanku, Lily. Jangan lagi bermimpi untuk mengeramasi Snivellus.”
FIN
PS:
Kyaaa... Bener kan, lagu itu keren kalo dibuat Fanfic James X Lily
Labels: Fanfic
+ Lily @ 12:13 pm
_________