Lily menunggu prosesinya berlangsung, namun sebentar-sebentar dia mengetukkan kakinya pelan, atau memilin-milin rambutnya tanpa sadar. Lama sekali! Apa susahnya sih menikah, Profesor Sinistra kan sudah berdandan dari tadi! Sekarang cukup berjalan di altar dan mengucap janji, lalu selesai! rutuknya tak sabar dalam hati. Mr. dan Mrs. Evans tampaknya jauh lebih sabar daripada Lily, mereka duduk tenang di tempat masing-masing, Meskipun Mrs. Evans, yang menyadari kegelisahan Lily, sesekali menepuk pundaknya pelan, menenangkan, dan Mr. Evans, tak tahan untuk menoleh kesana-kemari, memperhatikan para penyihir yang semakin banyak datang, beberapa bagaikan muncul begitu saja dari udara kosong.
Tiba-tiba suasana hening. Lily dan kedua orangtuanya segera menyadari perubahan ini. Lily menegak di tempat duduknya, agak bingung dengan keheningan yang mendadak ini, sementara Mr. dan Mrs. Evans saling pandang sambil tersenyum mengerti, seakan mengingat saat-saat pernikahan mereka dulu. Lily akhirnya melihat apa penyebab keheningan ini, saat dia menyusuri arah kemana pandangan semua orang tertuju.
Seorang wanita cantik bergaun putih, yang hampir salah dikenalinya karena cantiknya, Profesor Sinistra yang sudah menanggalkan atribut ketegasannya, sedang berjalan gugup perlahan sambil digandeng oleh guru ramuannya, Profesor Slughorn. Di ujung lainnya, Profesor Buster yang juga tampak gugup sedang berdiri, bersama dua orang yang dikenali Lily sebagai rekan seasramanya. Lily menyadari bahwa acaranya sudah dimulai.
Profesor Slughorn menyerahkan tangan Profesor Sinistra pada Profesor Buster. Suasana menegang. Musik telah berhenti. Lily baru menyadari mengapa keduanya membutuhkan waktu lama sekali untuk bersiap-siap, bukan hanya urusan fisik, namun juga mental harus dikuatkan. pernikahan ternyata sesuatu yang sangat penting.
"Wah, lihat, pengantin wanitanya cantik sekali," bisik Mrs. Evans agak keras, memperhatikan pengantin yang kini bersama di depan penghulu.
"Yeah, dan lihat pria gendut itu, apa itu ayahnya ya? Nanti saat Lilyku menikah, aku akan berjalan pelan begitu, menggandengnya erat, dan akan berat sekali melepaskan gadis kecilku," tambah Mr. Evans, memandang ke depan dengan bergairah.
"Itu berarti kita harus mengundang orang-orang dari dua kalangan, penyihir dan non-penyihir, benar kan Sayang? Aku ingin yang lebih meriah dari ini..." timpal Mrs. Evans pada suaminya. Kemudian mereka berdua cekikikan seperti sepasang remaja sedang membicarakan rencana bodoh yang lucu, menjahili orang, mungkin.
Lily yang mendengar percakapan kedua orangtuanya benar-benar merasa jengah. Saat seperti ini mereka malah membicarakan hal yang sangat jauh seperti itu. Lagipula, Lily masih tiga belas tahun, masih panjang jalannya menuju pernikahan. Mungkin dia baru akan memikirkannya setelah lulus dari Hogwarts, dan baru menikah di usia dua puluh tujuh? "Mum, Dad, aku ada di sini... Berhentilah membicarakan aku," katanya sebal, menghentikan percakapan kedua orangtuanya, dan kini perhatian mereka kembali ke arah pengantin.
Adegan yang berlangsung di depannya kini bagai dalam dongeng. Profesor Buster dan Profesor Sinistra keduanya menghadap 'Penghulu'. Saling memasangkan cincin. Saling mengucapkan sumpah setia akan hidup bersama saling mencintai dan berbagi suka dan duka selamanya. Diakhiri oleh ciuman dari pengantin pria. Kedua tangan Lily menutup pipinya yang merona karena menyaksikan adegan itu. Entah kenapa ia jadi berdebar-debar sendiri. Mr. dan Mrs. Evans sendiri memandang terpana ke depan, tampak terpesona dan tidak memperhatikan hal lainnya, tangan mereka yang berdampingan saling menggenggam.
Musik akhirnya mengalun lagi, kini musik yang berbeda dengan yang tadi. Mr. Evans, langsung tersenyum senang dan dengan bersemangat langsung menarik tangan Lily untuk bangkit dari dari duduknya. "Akhirnya... Ayo, sudah tiba saatnya, Lily sayang," katanya riang, dan melangkah ke 'lantai dansa', di mana pengantin wanita sudah berdansa dengan walinya, dan nantinya dengan suaminya. Beberapa orang lain juga sudah turun dan ikut berdansa.
"Dad!" hanya seruan itu yang sempat terlontar dari mulut Lily, dan ia segera terbawa ayahnya. Mereka berhenti ketika sudah berada di tempat yang tepat, kemudian Mr. Evans langsung menggenggam tangan Lily yang satu, dan tangan lainnya membimbing tangan Lily dan menyelipkannya di pinggang. "Kau sudah diajari ibumu berdansa kan? Nah, sekarang praktek! Kapan lagi ada dansa ayah dan anak selain nanti di pernikahanmu," kata Mr. Evans semangat, dan mereka mulai melangkah mengikuti alunan musik.
Lily sedikit menyadari bahwa ayahnya mungkin jadi agak kesepian setelah dua tahun ini Lily selalu berada di Hogwarts, dan hanya tinggal di rumah saat musim panas. Petunia jelas sama sekali tidak membantu, dia pasti hanya merengut dan malah pergi ke rumah temannya setiap hari. Lily menoleh melempar pandang ke kursi tamu, di mana ibunya tersenyum dan melambai lemah, dan Zeev masih dengan tampang dingin dan datarnya, yang kemudian dihampiri oleh anak laki-laki lain, kalau tidak salah anak Slytherin, meskipun Lily tak mengenalnya. Lily balas tersenyum, dan kembali menghadapkan kepala dan mata hijau cemerlangnya pada ayahnya, masih dengan senyum mengembang. Ia mulai menikmati acara dansa ini.
Lily berdansa dengan ayahnya hampir tanpa mempedulikan sekitarnya, ia seakan bergerak otomatis, hanya terkadang matanya melihat ke dalam mata ayahnya, yang kentara nampak bahagia, atau ke arah sekitarnya di mana mulai banyak orang berdansa. Lily sama sekali tak tahu bagaimana ia jadi mulai menyukai kegiatan berdansa ini. Tapi berdansa membuatnya merasa bebas dan bahagia.Hihihi, iseng pasang dua post tulisanku waktu RPGan kemaren dan tadi di IndoHogwarts. Ceritanya ini waktu Profesor Sinistra dan Profesor Buster menikah, dan sudah sampai adegan dansanya.
Mr. Evans sangat bersemangat berdansa, seakan tak ada hari lain saja. Lily melayangkan pandangan ke sekitarnya, dan tertangkap oleh matanya bayangan Mrs. Evans dan... Zeev! Benar-benar tak terduga, apalagi baru saja Zeev menolak mentah-mentah untuk berdansa dengan Mrs. Evans. Lily menyunggingkan senyumnya ke arah mereka, dan kembali berkonsentrasi pada ayahnya yang kini mengajaknya bicara.
"Bagaimana, Sayang, apa kau senang?" tanya Mr. Evans sambil melempar pandangan menyelidik, di wajahnya terpasang ekspresi ingin tahu.
"Tentu saja, Dad. Ini hari yang indah. Pernikahannya juga sempurna sekali," ujar Lily impresif, "dan Profesor Sinistra.... sangat cantik."
"Ya, ya. Kau juga nanti bisa seperti itu. Aku hanya membayangkan... Ini adalah pernikahanmu, sekarang adalah waktunya dansa ayah dan anak, dan aku sebentar lagi harus menyerahkanmu pada suamimu. Rasanya berat sekali, putri kecilku akan pergi jauh dariku dan hidup bersama orang yang sama sekali asing," kata Mr. Evans yang malah melayangkan pandangannya ke arah lain, ekspresinya sedih, namun ia tetap tersenyum dan memandang Lily.
"Jangan memikirkan hal yang jauh begitu, Dad. Umurku masih tiga belas," ujar Lily, mendekatkan dirinya pada ayahnya, berusaha agar semburat tipis di pipinya bersembunyi dari Mr. Evans. Ayahnya ini aneh-aneh saja.
Tiba-tiba Lily merasakan sebuah tangan dingin meraih jemarinya yang bertautan dengan jari-jari ayahnya, dan tangan itu menariknya perlahan menjauh. Lily menoleh, mendapati Zeevlah yang menariknya; ia dan Mrs. Evans sudah berhenti berdansa dan telah ada di dekat mereka. Samar-samar Lily mendengar Zeev menyerahkan Mrs. Evans pada Mr. Evans.
Mr. Evans memandangi Lily dengan pandangan sedih, namun segera setelahnya ia berdansa dengan istrinya, dan aura kebahagiaan kembali pada mereka. Mungkin memang lebih tepat begitu. Lily menoleh pada Zeev, dan ia baru menyadari bahwa dia telah berdansa dengannya. Entah kapan Zeev menyelipkan tangannya di pinggang dan bahu Lily, dan membimbing kedua tangan Lily berada di posisinya yang seharusnya.
"Tak kusangka kau mau menemani ibuku berdansa, tadi kan kau menolak terang-terangan," kata Lily disusul tawa pelan, meskipun ia masih berdansa dengan Zeev. "Tapi... terimakasih, Mum kelihatannya sangat senang," sambungnya sambil tersenyum kecil, dilihatnya lagi orangtuanya yang masih berdansa pelan, agak di pinggir. Lily ingin sedikit mengajak anak itu mengobrol, tapi sepertinya agak sulit karena sifatnya yang pendiam dan 'datar'. "Oh, sudahlah, kita nikmati saja dansa ini," gumamnya.
Lily dan Zeev berdansa untuk beberapa waktu, hingga tiba-tiba gerakan mereka berhenti, dan mata hijau Lily menatap rambut hitam berantakan milik seseorang yang entah sejak kapan ada di sana. James Potter merangkul bahu Zeev sehingga mereka tidak bisa melanjutkan. Pakaiannya sudah tak formal lagi karena dasinya sudah dilepaskan, dan rambutnya tampak lebih berantakan dari sebelumnya.
"Ah, sepertinya kalian sudah lama berdansa ya. Bagaimana kalau sekarang kau menemaniku berdansa, Evans?" tanya James sambil nyengir pada Lily.
Lily memandang mereka berdua bergantian, antara pandangan bertanya pada Zeev, dan pandangan heran pada James. Apakah James Potter ternyata suka berdansa? Sama sekali tidak terpikirkan atau terduga. Lily berpikir sejenak, kemudian berkata perlahan, "Well.. Aku... tidak keberatan," sambil melepas tangannya dari Zeev dan bergerak menjauh. Namun sebelumnya ia sempat berbisik pada Zeev, "Thanks untuk dansanya," sebelum pergi ke area tak jauh dari situ.
"Err, kau bisa berdansa kan? Di mana aku harus meletakkan tanganku?" tanya Lily sambil dengan agak canggung meletakkan tangannya di bahu James.
Labels: Harry Potter